Larangan membicarakan hal-hal yang didiamkan oleh Allah sejalan
dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :
“Biarkanlah aku dengan apa
yang telah aku biarkan kepada kamu sekalian, karena sesungguhnya hancurnya umat
sebelum kamu disebabkan mereka banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi
mereka”.
Sebagian ulama berkata : “Bani Israil dahulu banyak bertanya,
lalu diberi jawaban dan mereka diberi apa yang menjadi keinginan mereka, sampai
hal itu menjadi fitnah bagi mereka , karena itulah mereka menjadi binasa. Para
sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memahami hal tersebut dan menahan
diri untuk tidak bertanya kecuali hal-hal yang sangat penting. Mereka heran
menyaksikan orang-orang Arab gunung bertanya kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam, lalu mereka mendengarkan jawabannya dan memperhatikannya
dengan seksama.
Ada suatu kaum yang sikapnya berlebih-lebihan, sampai
mereka berkata : “Tidak boleh bertanya kepada ulama mengenai suatu kasus sampai
kasus tersebut benar-benar terjadi”. Ulama salaf ada juga yang berpendapat
seperti itu. Mereka berkata : “Biarkanlah suatu masalah sampai benar-benar telah
terjadi”. Akan tetapi, ketika para ulama merasa khawatir ilmu agama ini lenyap,
maka mereka kemudian membahas masalah-masalah ushul (pokok), menguraikan
masalah-masalah furu’ (cabang), memperluas dan menjelaskan berbagai
hal.
Para ulama berselisih pendapat dalam banyak perkara yang agama belum
menetapkan hukumnya. Apakah perkara tersebut termasuk yang haram atau mubah atau
didiamkan. Ada tiga pendapat dalam hal ini, dan semuanya itu dibicarakan dalam
kitab-kitab Ushul.
|