Hadits ini menerangkan keutamaan tasbih dan semua macam dzikir,
amar ma’ruf nahi mungkar, berniat karena Allah dalam hal-hal mubah, karena semua
perbuatan dinilai sebagai ibadah bila dengan niat yang ikhlas. Hadits ini juga
menunjukkan dibenarkannya seseorang bertanya tentang sesuatu yang tidak
diketahuinya kepada orang yang berilmu, bila ia mengetahui bahwa orang yang
ditanya itu menunjukkan sikap senang terhadap permasalahan yang ditanyakan dan
tidak dilakukan dengan cara yang buruk, dan orang yang berilmu akan menerangkan
kepadanya apa yang tidak diketahuinya itu.
Sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam “menyuruh kepada kebaikan adalah shadaqah, mencegah
kemungkaran adalah shadaqah” menyatakan pengakuan bahwa setiap orang yan
melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar dipandang melakukan shadaqah, yang hal
ini akan memperjelas makna tasbih dan hal-hal yang disebut sebelumnya, karena
amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah fardhu kifayah, sekalipun bisa juga menjadi
fardhu ‘ain. Berbeda halnya dengan dzikir yang merupakan perbuatan sunnah,
pahala atas perbuatan wajib lebih banyak daripada perbuatan sunnah, seperti yang
disebutkan dalam sebuah Hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Bukhari, Allah
berfirman : “Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan perbuatan yang
Aku cintai yang Aku wajibkan kepadanya”.
Sebagian ulama berkata : “Pahala
atas perbuatan wajib tujuh puluh derajat di atas perbuatan sunnah, berdasarkan
suatu Hadits”.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam “persetubuhan
salah seorang di antara kamu (dengan istrinya) adalah shadaqah “. Telah
disebutkan di atas bahwa perbuatan-perbuatan mubah yang dilakukan dengan niat
menaati aturan Allah adalah shadaqah. Jadi, persetubuhan dinilai sebagai ibadah
apabila diniatkan oleh seseorang untuk memenuhi hak dan kewajiban suami istri
secara ma’ruf atau untuk mendapatkan anak yang shalih atau menjauhkan diri dari
zina atau untuk tujuan-tujuan baik lainnya.
Pertanyaan shahabat : “Wahai
Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia
mendapat pahala?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab : “Tahukah
engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa, demikian
pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala”
mengandung isyarat dibenarkannya melakukan qiyas dalam hukum. Demikianlah
pendapat para ulama pada umumnya kecuali aliran Zhahiri.
Tentang riwayat
yang diperoleh dari para tabi’in dan lain-lain mengenai celaan terhadap qiyas
dalam hukum, maka yang dimaksud bukanlah qiyas yang populer dikenal oleh para
ahli fiqih mujtahid. Qiyas yang dimaksud adalah qiyasul ‘aksi (qiyas sebaliknya,
atau mafhum mukhalafah). Para ahli ushul berbeda pendapat dalam mempraktekkan
qiyas ini, tetapi Hadits di atas mendukung pendapat yang menjadikan qiyas ini
sebagai satu cara menetapkan hukum.
|